Saat ini, Tobacco & Salt Museum di Tokyo, Jepang sedang mengadakan pameran khusus yang berjudul “The Egami Collections IKAT: A Story of ‘Island Clothes’ derived from Whale and Salts”. Pameran yang terbagi menjadi 3 tema utama ini, memamerkan koleksi 50 tenun “ikat” dari Tomoko Egami seorang etnoarkeologi yang telah mengunjungi bagian timur Indonesia selama 30 tahun lebih.
Lewat pameran tersebut, mari kita lihat tenun “ikat” yang memiliki desain yang cantik dan memukau ini dan latar belakang sejarah nya yang berakar pada perdagangan di pulau Lembata, sebuah pulau di bagian timur Indonesia.
この記事の目次
Apa itu “Ikat”?
“Ikat”, merupakan kain tekstil yang dibuat dengan cara ditenun. Tenun ikat merupakan seni kerajinan menenun benang yang sebelumnya sudah diikat dan dicelupkan ke zat pewarna. Teknik ini banyak ditemui di seluruh dunia seperti di Jepang, Afrika hingga Asia Tenggara.
Kata “Ikat” itu sendiri merupakan bahasa Indonesia yang berarti “mengikat”.
Hasil Perdagangan Produk Laut dan Gunung! Tenun Ikat Pulau Lembata
Pada bagian pertama, pameran memperkenalkan tenun ikat pulau Lembata dari bagian timur Indonesia yang merupakan penelitian utama Egami. Tenun Ikat memang dapat ditemukan di seluruh Indonesia namun, Pulau Lembata memiliki sejarah yang berbeda mengenai asal usul tenun ini.
Di Pulau Lembata, umumnya terdapat “penduduk laut” yang bekerja sebagai penangkap paus, produsen garam dan kapur, serta “penduduk gunung” yang memproduksi kapas dan produk agrikultur lainnya seperti tanaman nila dan indigo yang merupakan bahan zat pewarna. Kedua profesi ini telah hidup berdampingan hingga saat ini lewat perdagangan yang umumnya produk garam dan daging ikan paus. “Penduduk laut” tidak mempunyai kapas yang merupakan bahan dasar kain, juga tanaman nila dan indigo yang merupakan bahan dasar zat pewarna. Sebaliknya, “Penduduk gunung” tidak memiliki kapur yang juga dibutuhkan untuk mewarnai kain. Di situ lah letak keunikan dari Tenun Ikat Lembata, karena kain tenun tersebut terlahir dari perdagangan untuk saling melengkapi bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat nya.
Proses menenun kain ikat oleh penduduk di laut merupakan pemandangan yang tidak dapat dilihat dimanapun selain di pulau Lembata. Selain itu, tenun ikat dari penduduk di laut dan penduduk di gunung masing-masing memiliki perbedaan pada motif nya.
Asal Mula Perdagangan oleh Penduduk Laut
Pada bagian kedua, pameran berfokus pada penduduk daerah Lamalera yang merupakan penduduk di wilayah dekat laut. Bagian ini menjelaskan tradisi perburuan ikan paus, produksi garam dan asal mula perdagangan mereka.
Di zaman yang serba canggih ini, penduduk Lamalera masih melakukan perbururan ikan paus secara tradisional. Tradisi penangkapan ini sudah lama berlangsung sebagai pekerjaan para pria di daerah tersebut. Pertama-tama, mereka akan mendekati ikan paus menggunakan perahu layar dari kayu. Kemudian, seorang “Lamafa” yang merupakan julukan untuk pendekar atau penombak paus, akan turun melompat ke laut dan mulai melemparkan tombak nya.
Tidak hanya sekali, tetapi hingga dua kali bahkan 3 kali tombak akan dilempar satu per satu. Setelah itu seluruh kru kapal akan mendekati paus yang sudah lemah.
Paus yang sudah ditangkap akan dipotong pada keesokan hari perburuan. Di desa tersebut memiliki sistem agar daging paus dapat dibagi secara merata, bahkan bukan hanya nelayan yang merupakan pria-pria penduduk desa, para penduduk desa lainnya yang tidak memiliki pria di rumah nya juga mendapatkan daging hasil tangkapan. Dengan sistem tersebut, seluruh penduduk desa akan memiliki daging ikan paus yang sangat penting sebagai produk berdagang dengan penduduk di gunung.
Bahan yang Serbaguna! Pemanfaatan Kelapa oleh Penduduk Pulau
Selain daging ikan paus dan garam, terdapat bahan lain yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan penduduk yaitu, kelapa. Pulau Lembata merupakan pulau yang memiliki banyak jenis pohon kelapa seperti, kelapa lontar, kelapa pinang, dan kelapa gebang. Para penduduk pulau memanfaatkan daun pohon kelapa untuk kehidupan mereka seperti, pembuatan tenun ikat, wadah, linting rokok bahkan layar perahu.
Ragam Tenun Ikat di Indonesia
Pada bagian ketiga, pameran berfokus pada koleksi tenun ikat yang merupakan bagian dari 30 tahun lamanya penelitian Tomoko Egami mengenai monumen megalitik (dolmen dan menhir). Kain yang ditampilkan menunjukkan keberagaman dalam motif dan teknik yang digunakan.
Mengenalkan “Ikat” kepada Masyarakat Jepang
Tenun Ikat dari pulau Lembata Indonesia menunjukkan keindahan dari kehidupan masyarakat di pulau tersebut. Tenun ini menjadi bukti masyarakat di pulau Lemabta untuk saling membantu dan menjaga agar tradisi mereka tetap hidup.
Terakhir, tertulis komentar dari juru bicara museum mengenai pameran ini.
“Pameran ini memamerkan sekitar 50 tenun ikat. Kami berharap pengunjung dapat menikmati keindahan hasil penggunaan pewarna alami serta motif seperti figur hewan dan manusia yang berada di tenun ikat ini. Sekedar melihat nya saja, tenun ikat memang sangat bisa dinikmati, tetapi akan menjadi lebih menarik apabila pengunjung dapat mengetahui gaya hidup dan budaya masyarakat di baliknya. Kami juga berharap pengunjung dapat mengunjungi pameran lain kami mengenai kehidupan dan budaya, termasuk benda dan foto dengan nilai etnis.”
Pameran dibuka hingga 9 April 2023.
Datang dan rasakan kisah dari “Ikat” yang memiliki keindahan dan kuat.
Ringkasan Informasi
Nama Pameran : “The Egami Collections IKAT: A Story of ‘Island Clothes’ derived from Whale and Salts”
Periode Pameran : 21 Januari – 9 April 2023
Tempat : Tobacco and Salt Museum Tokyo, Jepang
Alamat : 1-16-3 Yokokawa, Sumida, Tokyo, Jepang
Harga Tiket : Dewasa/Mahasiswa 100 yen; Diatas 65 tahun 50 yen (Sertifikat Diperlukan); Pelajar 50 yen
Jam Buka : 10.00 – 17.00 JST (Jam Masuk Terakhir 16.30 JST)
Hari Libur : Senin
Situs Resmi : https://www.tabashio.jp/