Updated June 30th, 2025
Penanggung Jawab SDM Special Nursing Home Care Port Itabashi

Bangun Sistem Pendidikan Terpadu Demi Sertifikasi Care Worker

Utsugi Tadashi
Kepala Fasilitas, Care Worker Bersertifikat dan Care Manager
Fuji Kenikukai Special Nursing Home Care Port Itabashi

 Sejak tahun 2008, Special Nursing Home “Care Port Itabashi” yang terletak di Distrik Itabashi, Tokyo, telah menerima para calon care worker dari program EPA (Economic Partnership Agreement) yang datang ke Jepang untuk memperoleh kualifikasi pekerja perawatan. Fasilitas ini membentuk tim EPA untuk mendukung para peserta dari tiga aspek, yaitu kehidupan, pembelajaran, dan pekerjaan, serta fokus dalam pengembangan tenaga kerja asing di bidang keperawatan.

 Kami berbincang dengan Utsugi Tadashi, kepala fasilitas sekaligus penanggung jawab tim EPA, mengenai bagaimana menciptakan sistem yang memungkinkan tenaga kerja asing dapat bekerja dengan penuh semangat dan berdaya.

Orang Indonesia Tumbuh Selangkah demi Selangkah, seperti Menapaki Tangga

――Apa latar belakang penerimaan tenaga kerja asing?

 Care Port Itabashi mulai menerima peserta EPA sejak 2008, tahun saat Perjanjian Kemitraan Ekonomi (EPA) antara Jepang dan Indonesia disepakati.

 Sebenarnya, penerimaan tenaga kerja asing telah kami pertimbangkan bahkan sebelum EPA dimulai. Tatekawa Setsuo selaku kepala yayasan sudah memprediksi kekurangan tenaga kerja di bidang medis dan keperawatan sejak 2004. Dalam pertemuan asosiasi bisnis, beliau menyatakan bahwa Jepang akan kekurangan tenaga kerja domestik di masa depan, sehingga penting untuk secara aktif menerima tenaga kerja asing.

 Pada tahun 2007, kami melakukan uji coba dengan mempekerjakan dua pelajar Filipina yang belajar di sekolah bahasa Jepang sebagai pekerja paruh waktu di fasilitas kami. Saat itu, karena tenaga kerja lokal masih mencukupi, keberadaan pekerja asing di fasilitas keperawatan tergolong langka. Namun, kedua pelajar tersebut selalu tersenyum dan ramah, sehingga sangat disukai oleh para lansia. Kebetulan saat itu program EPA dimulai, maka kami pun memutuskan untuk menjadi salah satu fasilitas penerima.

 Karena tujuan EPA adalah pertukaran budaya—bukan sekadar pemenuhan tenaga kerja, kami mengadakan sesi pembekalan bagi staf dan keluarga pengguna layanan sebelum menerima peserta. Awalnya, beberapa staf merasa khawatir karena perbedaan bahasa dan budaya, namun setelah Meida Handajani dari Indonesia datang sebagai peserta angkatan pertama dengan kepribadian yang tenang dan kemampuan bahasa Jepang yang baik, kekhawatiran tersebut langsung berkurang.

 Sejak itu, kami menerima sekitar satu peserta EPA per tahun. Saat ini, ada 13 orang yang aktif bekerja di fasilitas ini, termasuk yang telah lulus ujian care worker bersertifikat. Secara keseluruhan kami telah menerima 21 tenaga kerja asing.

――Bagaimana kesan Anda terhadap peserta dari Indonesia?

 Mereka rajin, tenang, dan sangat tekun dalam bekerja maupun belajar. Saya merasakan adanya kemauan kuat untuk menyerap segala sesuatu, dan mereka tumbuh secara bertahap seperti menaiki tangga satu per satu.

 Kami juga memiliki staf dari Filipina dan Vietnam. Staf Filipina cenderung ceria dan energik, sementara staf Vietnam berpikiran matang dan cenderung serius. Setiap negara memiliki karakteristik masing-masing. Tentu saja, sifat dan cara berpikir setiap orang berbeda, jadi tidak bisa digeneralisasikan sepenuhnya.

Membentuk “Tim EPA” untuk Mendukung Kehidupan dan Belajar Secara Menyeluruh

――Apa yang menjadi pertimbangan penting saat wawancara?

 Dalam program EPA, pihak fasilitas yang merekrut kandidat dan para kandidat yang memilih fasilitas tempat mereka ingin bekerja, punya kesempatan memilih hingga 10 pilihan, kemudian dilakukan proses seleksi. Jika terjadi kecocokan (matching), maka kandidat dinyatakan diterima dan mereka akan ditempatkan di fasilitas yang bersangkutan setelah mengikuti pelatihan bahasa Jepang pra-keberangkatan.

 Meskipun proses wawancara bisa diwakili oleh lembaga penyalur seperti JICWELS, saya pribadi lebih suka bertemu langsung dengan para calon. Oleh karena itu, saya pergi ke negara asal mereka untuk mengikuti sesi penjelasan dan melakukan wawancara secara tatap muka.

 Peserta EPA umumnya memiliki mimpi yang jelas dan potensi yang luar biasa, sehingga memilih siapa yang akan kami terima cukup sulit. Karena mereka datang untuk bekerja di Jepang, kami ingin pengalaman ini menjadi bekal hidup mereka. Maka dari itu, saya selalu bertanya tentang impian mereka.

 Pengguna layanan kami umumnya memiliki penurunan fungsi kognitif, sehingga komunikasi lewat ekspresi wajah sangat penting. Kami juga mengecek apakah calon bisa berkomunikasi dengan senyuman, karena senyuman adalah bahasa universal. Kehadiran orang yang selalu tersenyum di dekat lansia memberikan rasa aman yang besar.

――Apa yang Anda rasakan setelah menerima peserta EPA?

 Jumlah penerimaan peserta EPA dibatasi maksimal 300 orang per negara setiap tahunnya, dan hanya untuk bisa masuk ke dalam kuota ini saja sudah dianggap sangat sulit. Pesertanya berasal dari universitas ternama atau sudah memiliki sertifikasi keperawatan, sehingga mereka sangat berkualitas. Melihat mereka bekerja keras setiap hari tanpa mengeluh, tetap tersenyum, bahkan menyisihkan penghasilan untuk keluarga, membuat kami para orang Jepang merasa harus belajar dari mereka.

 Ketika saya bertanya kepada staf Jepang, “Apakah Anda punya kemampuan mengikuti ujian nasional dalam bahasa asing dan sanggup mengirim setengah gaji Anda untuk keluarga?”, tidak ada satu pun yang mengangkat tangan. Setelah saya jelaskan bahwa orang-orang yang datang ke fasilitas kami adalah mereka yang punya tekad dan kemampuan seperti itu, semua langsung berpikir, “Kalau begitu, tentu saja kita harus mendukung mereka sepenuh hati!”

――Bagaimana sistem pendukung bagi peserta EPA di fasilitas Anda?

 Di fasilitas ini, kami membentuk sebuah “Tim EPA” yang mendukung peserta EPA dari tiga aspek: kehidupan, pekerjaan, dan belajar. Selain saya sendiri sebagai direktur fasilitas, dukungan dasar diberikan oleh tiga anggota staf lainnya, yaitu seseorang yang bertanggung jawab atas kehidupan sehari-hari dan seseorang yang bertanggung jawab di lapangan.

 Dalam aspek kehidupan, staf pendamping membantu peserta dalam berbagai keperluan harian, seperti mencari tempat tinggal, membuka rekening bank, dan membuat kontrak telepon. Awalnya, kami meminta sumbangan perabot atau peralatan rumah tangga dari staf, namun kini kami menyediakan dana awal sebesar 100.000 yen agar peserta bisa membeli barang yang mereka butuhkan.

 Untuk aspek pekerjaan, peserta menjalani orientasi di tiga fasilitas berbeda di bawah yayasan kami. Selama dua minggu pertama, mereka belajar kehidupan lansia Jepang di rumah kelompok “Kamome no Ie” dengan mendampingi kegiatan memasak dan belanja. Dua minggu berikutnya mereka dipindahkan ke layanan harian yang lebih ringan, untuk belajar komunikasi praktis dalam bahasa Jepang. Akhirnya, mereka bekerja di fasilitas utama ini untuk mempelajari keterampilan keperawatan secara menyeluruh.

Dalam aspek pembelajaran, kami mengikuti program pelatihan standar dari JICWELS. Tahun pertama fokus pada pembelajaran bahasa Jepang dengan target mencapai level N2 pada JLPT. Setelah itu, mereka mempelajari bahasa Jepang yang digunakan di tempat kerja dan mempersiapkan diri untuk ujian nasional. Di tahun ketiga, mereka mengikuti ujian untuk menjadi care worker bersertifikat.

Program JICWELS sangat terstruktur, sehingga para peserta bekerja sambil menjalani rutinitas seperti siswa yang sedang mempersiapkan ujian. Memang berat, tapi mereka sudah terbiasa dengan intensitas belajar sejak sebelum ditempatkan. Tanpa usaha sebesar ini, tidak mungkin bisa lulus ujian nasional dalam bahasa asing hanya dalam tiga tahun.

Kami juga memberikan pelatihan privat, dan menetapkan satu hari dalam seminggu khusus untuk belajar sepenuhnya di luar jam kerja.

Banggalah Pada Diri Sendiri yang Ingin Mengembangkan Diri di Negeri Orang

――Apa rencana dan harapan Anda ke depan?

 Industri keperawatan di Jepang saat ini tidak akan mampu bertahan tanpa bantuan tenaga kerja asing. Kemungkinan besar, dalam 10 hingga 15 tahun ke depan, bahkan para pekerja asing pun tidak akan tertarik lagi untuk bekerja di Jepang. Maka dari itu, kami ingin mempersiapkan sistem di fasilitas sedini mungkin agar Care Port Itabashi tetap menjadi tempat yang dipilih oleh mereka untuk bekerja.

 Hal yang paling dibutuhkan untuk mewujudkannya adalah membangun sistem yang memungkinkan para pekerja asing memperoleh sertifikasi sebagai kaigo fukushishi (perawat lansia bersertifikat). Kami ingin terus mengembangkan sistem pendidikan yang setara dengan warga Jepang agar para peserta bisa lulus ujian nasional dan mengembangkan karier mereka di Jepang. Saat ini, kami fokus menerima peserta melalui program EPA, namun bila sistem ini sudah matang, kami yakin fasilitas kami bisa menjadi tempat yang aman dan ideal bagi siapa pun—apa pun kewarganegaraannya atau jenis visa yang dimilikinya—untuk mengembangkan keterampilan dengan tenang.

――Pesan bagi orang Indonesia yang ingin bekerja di Jepang

Tidak semua orang memiliki keberanian untuk menantang diri dan berkembang di negeri asing. Jika kamu punya semangat untuk terus maju demi meraih tujuanmu, banggalah akan diri sendiri.

Saya percaya Anda datang ke Jepang dengan membawa mimpi dan harapan untuk masa depan. Jangan pernah menyerah pada mimpi itu, dan teruslah berjuang setiap hari untuk mewujudkannya.

Artikel Interview Perusahaan Jepang Lainnya