Jadi Sosok Ibu bagi Junior dengan Pengalaman Panjang sebagai Kaigo Jepang

MEIDA HANDAJANI
Kelahiran 1981
Asal Kota Salatiga, Jawa Tengah
Fuji Kenikukai Special Nursing Home Care Port Itabashi
Terinspirasi dari Drama Jepang ‘Oshin’
Sejak kecil Meida sudah memiliki cita-cita menjadi seorang perawat. Setelah lulus SMA di kampung halamannya, ia melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi keperawatan di Kota Semarang. Di sana, ia terlibat dalam sebuah penelitian yang mengkaji apakah mahasiswa Indonesia yang mempelajari keperawatan bisa bekerja di fasilitas lansia di Jepang. Kemudian pada tahun 2006, Meida pun berangkat ke Jepang untuk pertama kalinya sebagai mahasiswa pertukaran.
“Saya sering menonton drama seperti ‘Oshin’ dan ‘Boku Dake no Madonna’ sejak masih kecil. Karena itu, saya selalu mengagumi budaya dan pemandangan Jepang. Salju dan bunga sakura yang muncul dalam drama-drama itu sangat indah, dan saya selalu ingin melihatnya secara langsung setidaknya sekali dalam hidup,” kenangnya.
Sebelum berangkat ke Jepang, Meida telah memperoleh sertifikat Home Helper tingkat 1 dan 2. Selama dua tahun menempuh pendidikan di sekolah bahasa Jepang di Tokyo, ia juga bekerja paruh waktu di sebuah fasilitas lansia di Kota Kawasaki, Prefektur Kanagawa. Bagi Meida yang saat itu baru mulai belajar bahasa Jepang, percakapan para pengguna layanan terdengar terlalu cepat dan sulit dipahami. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai bisa memahami isi pembicaraan terutama ketika ia meminta lawan bicaranya untuk berbicara lebih pelan atau menuliskan apa yang mereka maksud.

Terpilih Mengikuti Program EPA karena Kemahiran Bahasa Jepang yang Tinggi
Setelah lulus dari sekolah bahasa Jepang, Meida mulai mencari pekerjaan sebagai perawat di rumah sakit di Indonesia. Namun saat meninjau CV-nya, seorang staf HRD berkata, “Kemampuan bahasa Jepang Anda sayang sekali (terlalu berharga) jika tidak dimanfaatkan. Anda sebaiknya mengikuti program EPA untuk calon care worker.” Atas saran tersebut, Ia pun mengikuti program pencocokan dengan fasilitas perawatan Jepang yang diselenggarakan di Jakarta. Harapannya sejalan dengan fasilitas lansia Care Port Itabashi di Distrik Itabashi, Tokyo, dan Meida bergabung sebagai peserta angkatan pertama program EPA pada tahun 2008.
Dalam program EPA, peserta umumnya menjalani pelatihan bahasa Jepang dan keterampilan keperawatan selama sekitar enam bulan sebelum mulai bekerja. Namun, Meida yang telah meraih sertifikasi JLPT N2 saat masih menjadi mahasiswa internasional, tidak lagi diwajibkan mengikuti pelatihan bahasa Jepang. Ia hanya mengikuti pelatihan pengantar selama dua minggu, lalu langsung mulai bekerja.
Meski sudah pernah bekerja paruh waktu di fasilitas lansia sebelumnya, Meida tetap memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru. Saat itu jumlah tenaga asing yang bekerja di fasilitas keperawatan di Jepang masih sangat sedikit, sehingga ia pun tak jarang menghadapi pandangan yang ketat dan penilaian yang tajam dari lingkungan sekitarnya.
”Kadang saya suka merasa bingung ketika tiba-tiba dimarahi dengan nada tinggi atau kata-kata yang keras. Awalnya saya cukup terkejut, tapi setelah saya perhatikan ternyata mereka juga bersikap sama kepada orang lain (seperti kepada saya). Dari situ saya sadar, ‘Oh, memang begitu sifat orang ini,’ dan karena itu saya jadi lebih tenang.”
Sambil terus bekerja di bidangnya, Meida juga mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian sertifikasi sebagai careworker (pekerja perawatan lansia). Ia lulus ujian tersebut pada tahun 2012 dan sempat kembali ke Indonesia untuk tinggal bersama suaminya yang juga berkewarganegaraan Indonesia pada bulan Agustus di tahun yang sama. Kemudian ia kembali bekerja di Care Port Itabashi sejak September 2017.

Sebagai Jembatan Penghubung Orang Jepang dan Orang Asing
Meida kini menjadi sosok yang tak tergantikan di fasilitas tersebut. bukan hanya sebagai careworker bersertifikat, tetapi juga sebagai senior yang dapat diandalkan oleh para staf asing. Ketika instruksi dari staf Jepang sulit dipahami, Meida kerap menjadi jembatan komunikasi yang membantu menyelesaikan kendala di antara mereka.
”Ada berbagai alasan mengapa instruksi tidak tersampaikan dengan baik. Mulai dari tidak memahami kosakata, kalimat yang terlalu panjang dan sulit dipahami, hingga sekadar tidak terdengar dengan jelas. Dalam situasi seperti itu, saya akan menanyakan terlebih dahulu kepada staf Jepang tentang isi instruksi yang diberikan, lalu memeriksa kembali pemahaman staf asing. Kemudian kami bersama-sama mencari tahu bagian mana yang mereka kesulitan. Selain itu, saya juga sering menjadi tempat curhat ketika ada staf asing yang ingin mengambil cuti, tetapi merasa tidak enak untuk menyampaikannya.”
Bahkan dalam kehidupan pribadinya, Meida memperhatikan para pendatang baru bagaikan seorang ibu, mulai dari memberi tempat tinggal sementara bagi staf yang baru tiba di Jepang dan belum menemukan tempat tinggal, hingga mengundang mereka yang kesulitan makan untuk datang ke rumahnya seminggu sekali dan makan malam bersama. Kehadiran sosok senior yang ramah dan bisa diandalkan dari tanah air ternyata menjadi sumber semangat yang besar bagi para junior.
Berikut pesan dari Meida untuk junior asal Indonesia yang ingin bekerja di Jepang di masa depan.
”Bahasa Jepang yang kami pelajari umumnya menggunakan bentuk sopan seperti ‘desu’ dan ‘masu’, tapi dalam kehidupan sehari-hari di Jepang, justru banyak digunakan ungkapan yang lebih santai seperti ‘ikan-yo’ atau ‘azamasu’. Percakapan seperti ini bisa dipelajari lewat drama atau anime Jepang, jadi saya berharap kalian dapat belajar sambil menikmati menonton hal-hal yang kalian suka.”
